Powered By Blogger

Sabtu, 07 Mei 2011

Hukum 33-33-33

Pemirsa ada menjalankan usaha? Mau tau peluang keberhasilan dari usaha tersebut? Nah, ini saya sharingkan salah satu hukum yang pernah saya dapatkan dari seorang jutawan dollar Amerika Hawai yang bernama Robert T Kiyosaki. Di salah satu bukunya, ada tertulis hukum 33-33-33. Saya banyak belajar dari hukum ini. Mungkin pemirsa sudah pernah baca artikel di web antonhuang.com, di artikel berjudul cerita motivasi menggendong keledai. Cerita ini menggambarkan hukum ini. Bila belum baca, monggo baca. Bila yang merasa sudah pintar, ya lewatkan saja. INi hanya berbagi. Apa yang saya bagi, jangan diterima mentah-mentah. Bila tidak suka, ya jangan dimakan. Haha..

Nah, apa artinya hukum 33-33-33 ini dalam berbisnis? Selalu ada 33% orang yang tidak setuju dengan apa yang kita jalankan. Orang-orang ini bisa jadi penuh kritik, ngeyel terhadap apa yang kita jalankan atau bagikan, gak menerima apa yang kita tawarkan. Kategori ini butuh usaha beberapa kali. Namun, pada prosentasenya, tetap juga ada yang tidak setuju atau menolak apa yang kita tawarkan atau bagikan. Ini sudah hukum alamnya. Tidak semua yang datang ke toko (bila pemirsa usaha toko), akan membeli. Selalu ada yang hanya melihat-lihat. Kebetulan salah satu usaha saya bergerak di bidang bisnis jaringan atau Multi Level Marketing. Di bisnis ini, saya ketemu berbagai partner dengan berbagai latar belakang dan berbagai karakter serta kepribadian. Ada yang teachable, yang bisa belajar dan diajar. Saya juga masih belajar. Nah, ada juga yang ngeyel. Di jaringan bisnis saya ada satu leader yang ngeyel. Gak nurut, mau bantah apapun yang dikatakan. Nah, saya belajar dari yang telah lebih sukses dari saya, untuk menghadapi yang ngeyel atau sering membantah, diabaikan saja. Bila coba diperbaiki, namun tidak juga baik hasilnya, daripada mengganggu orang lain yang jauh ingin lebih maju dengan belajar dan mau diajari, lebih baik tinggalkan saja yang ngeyel-ngeyel itu. Kenapa? Karena yang ngeyel akan mencetak generasi ngeyel. Sedangkan dalam kepemimpinan bisnis jaringan, faktor duplikasi kepemimpinan merupakan dasar dari bisnis ini. So, anggap saja yang ngeyel atau tidak setuju dengan apa yang kita tawarkan itu masuk kategori 33%.

Selanjutnya ada 33% lagi orang-orang dengan mudah menerima apa yang kita bagikan atau infokan. Ini yang dibilang oleh bapak Robert T Kiyosaki dalam bukunya itu. So, buat yang sekarang sedang menjalani bisnis, apapun bisnis pemirsa, bila belum menemui hasil, tenang saja, ada 33% yang menanti usaha pemirsa. Jadi perbanyak terus saja usahanya, sambil terus meningkatkan mutu ataupun memperbanyak strategi. Ini sudah hukum rata-ratanya. Selalu ada yang menerima, selalu ada yang menolak, seperti halnya siang berpasangan dengan malam, pagi dengan sore. Pahit dengan manis.

Terus ada lagi 33% yang berada di posisi tengah-tengah. Orang-orang ini yang butuh pendekatan dan pemahaman dari pemirsa. Mereka mungkin butuh penjelasan beberapa kali agar memahami apa bisnis atau produk pemirsa. Orang terkadang cepat lupa, jadi ingatkan lagi. Bila mereka masih tetap juga tidak mau menerima, atau mungkin masih juga ngeyel, setelah beberapa kali penjelasan, masukkan saja ke kategori 33% yang menolak. Haha.. Simpel. Saya pernah belajar kepemimpinan dari John C Maxwell, pakar kepemimpinan internasional, mata rantai bisa tersambung dengan baik bila mempunyai kesamaan. Bila ada satu saja mata rantai yang keluar alias tidak mempunyai kesamaan (visi), maka mata rantai yang berbeda ini haruslah diputus, dibuang saja, agar tidak merusak mata rantai lainnya. Saya awal pertama belajar ini, merasa wahhh. keras sekali. Kenapa harus dibuang mata rantai yang tidak cocok ini? Tega amatt…. INi pemahaman saya dulu. TApi setelah belajar lebih dalam dan banyak tentang kepemimpinan, saya tau bahwa memang harus seperti itu. Satu orang yang ngeyel alias tidak nurut saja di dalam mata rantai, bisa mengganggu fokus dan mata rantai lainnya.

Terus bagaimana dengan 1% lagi?  Selanjutnya actionkan saja. Ngapain juga diributkan atau dipermasalahkan 1% ini. Banyak orang suka berdebat, mencari-cari salah orang lain, mencari-cari kekurangan orang lain. Mencari dan memperdebatkan teori-teori. Menurut saya, teori tidaklah akan berguna banyak bila tidak dipraktekkan. Praktekkan saja, fokus pada praktek. Ini yang saya pelajari dulu. Saya tau saya hanya bisa mendapat banyak bila saya praktek, bukan dengan membaca atau memperdebatkan dengan yang menulis buku. Coba bayangkan kalau saya memperdebatkan dengan Robert T Kiyosaki tentang 1% lagi? Lebih baik actionkan saja, dari action, akhirnya dapat juga makna sejati dan HASIL Nyata dari hukum peluang 33-33-33 ini.

Oke, Jangan telan mentah-mentah apa yang saya sharingkan di sini. Jangan diterima langsung, sesuaikan dengan kondisi pemirsa. Bila dirasa oke, silahkan diterima. Bila tidak, ya jangan diterima. Mau berdebat dengan saya? Saya rasa gak akan ada hasilnya, lebih baik action saja apa-apa yang sudah pemirsa rencanakan. Toh, hasil yang akan pemirsa peroleh jauh lebih berarti. Salam Hebat Luar Biasa!!



Sumber : http://universitasbisnis.com

Cara Mudah Memulai Usaha

Ingin punya usaha? Namun bingung cara memulainya? Ya, saya dulunya juga seperti ini. Mau kerja, saya gak lulus test, gak punya bakat kerja, gak jago kerja, beda dengan orang kebanyakan, yang berbakat kerja. Beruntunglah yang punya bakat kerja, saya sendiri bila test wawancara kerja, gagal terus. Sudah susah payah melewati test psiko, namun selalu gagal di wawancara, ya karena gak bakat kerja tadi, gak jago kerja. Satu-satunya jalan agar bisa makan, bisa punya uang, bisa membeli apa yang diinginkan, bisa hidup, ya harus cari uang, alias harus usaha. Karena gak punya uang terus itu gak enak, jadi harus bikin usaha. Nah, supaya punya usaha, tentunya haruslah memulai usaha, karena kalo gak mulai-mulai punya usaha, akhirnya ya gak akan punya usaha.




Pas mau mulai usaha, saya pun nyangkut di modal. Saya coba ajak kawan-kawan saya, saya paparkan visi misinya (wuihhhh.. bahasanya keren visi misi…), mereka tertarik. Namun, pas cerita modal, nah ini dia, problem mulai muncul. Beberapa yang tertarik, nyangkut. Waktu itu sama-sama baru lulus kuliah, sama-sama modal minim. Ada teman yang jurusan ekonomi, pinter itung2an, itung modal, itu BEP, keluarlah pernyataan : “Wahhh.. sepertinya lama nich balik modalnya…” akhirnya gak jadi dech, ia pun mengambil jalan melamar kerja. Sedangkan saya? Saya gak punya bakat kerja. Gimana? Saya bingung waktu itu, akhirnya ya, saya baca2 buku pengusaha sukses, seperti Purdi Chandra pemilik Bimbel Primagama. Terus baca juga koran yang mengupas tentang Bob Sadino. Saya baca lagi beberapa buku tentang wirausaha. Aha… akhirnya saya dapatkan cara mudah memulai usaha.

Nah, cara mudah memulai usaha, adalah Mulai saja. Sama seperti mau berjalan jauh. Mulai melangkah saja. Dengan melangkah baru akan tau apa2 saja yang akan dialami, didapatkan, ataupun resikonya. Itung2an boleh, perlu, namun pasti ada yang terlewatkan yang di luar itungan manusia. Misalkan, membuka toko, bisa jadi ada yang borong beli. Atau dapat proyek besar. Rezeki kaget gitu loch…
Coba Pemirsa bayangkan…


sumber :  http://universitasbisnis.com

Jumat, 06 Mei 2011

Dari Tukang Parkir Menjadi Wirausaha

Dalyono (30) bikin terhenyak peserta diskusi terbatas kewiraswastaan di Balai Soedjatmoko, Solo, Jawa Tengah, akhir 2010. Ia berangkat menjadi wiraswasta dari serba nol: nol modal, nol koneksi, dan nol keterampilan. Tiga tahun setelah jatuh-bangun, usahanya, mebel batik Mataram Furniture, pun berkembang.

Saya berasal dari keluarga miskin di Desa Kalimundu, Gadingharjo, Bantul, DI Yogyakarta. Ayah saya petani, yutun, tak berpendidikan, tak punya sawah, hanya mengandalkan suruhan orang. Saya tahu mengapa orangtua saya miskin. Mohon maaf karena bodoh.”

Kondisi itu menguatkan tekad anak sulung dari dua bersaudara ini. ”Saya harus belajar, tak boleh lelah belajar.” Namun, belajar tanpa biaya? ”Ah, itu omong kosong.”

Jadilah anak pasangan Ngadiman-Boniyem ini sejak SMP belajar dan mencari penghasilan dengan berjualan apa saja.

Ketika melanjutkan sekolah di SMA 17 Bantul, ia juga berjualan ayam. Ia bekerja sambil belajar, sebab waktu belajar lebih sedikit dari jam kerjanya.

Awalnya, Dalyono tak tahu itulah inti kewirausahaan, kiat dan keterampilan yang kemudian dibicarakan orang terpelajar belakangan ini.

”Tidak mungkin saya menjadi mahasiswa, biaya tak ada. Begitu lulus SMA, saya ke Jakarta. Saya pikir, jadi orang sukses harus ke Jakarta,” kata pria yang ke Jakarta berbekal beras 25 kilogram dan sedikit uang. Ia berjualan ayam di Ibu Kota.

Uangnya habis dalam seminggu. Tak ada tumpangan, ia tidur di kolong jembatan di kawasan Penjaringan. Untuk makan sehari-hari, ia menjadi tukang parkir. Ia hidup terlunta-lunta di Jakarta sekitar tujuh bulan.

Dalyono sempat sakit, tetapi ia menolak kembali ke Yogyakarta. Alasannya, malu karena belum bisa mengirim uang ke kampung.

Ia memang tak dibawa ke Bantul, tetapi dimasukkan ke Panti Sosial Bina Remaja di Sleman. Hampir setahun di panti, ia lalu dipekerjakan di bagian menggambar Summer Gallery, perusahaan furnitur.

Berpindah-pindah

Oleh sang bos, Dalyono dianggap tak bisa menggambar. Dia lalu pindah bekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain selama kurun waktu lima tahun.

Meski berpindah-pindah tempat kerja, ia tetap bekerja di perusahaan yang lingkup usahanya furnitur.

”Di berbagai perusahaan itu saya dilatih disiplin, minat belajar pun tumbuh lagi,” katanya

Dia lalu bertekad memiliki perusahaan furnitur. Usaha furnitur dirintisnya dan sedikit demi sedikit berkembang. Bahkan, perusahaannya juga menjadi salah satu pemasok perusahaan yang dahulu bosnya menganggap Dalyono tak bisa menggambar.

Suatu saat ia bertemu Ir Ciputra, pengusaha yang punya obsesi kewirausahaan sebagai kunci kemajuan bangsa. Ketika itu Dalyono menjadi juara pemberdayaan masyarakat karena 25 pemuda yang dibinanya lewat usaha mebel Mataram Furnitur. Mereka adalah teman-teman di desanya, Kalimundu.

Awalnya agak sulit karena umumnya mereka tak berlatar belakang tukang kayu. Berkat usaha kerasnya, Dalyono pun terpilih sebagai pemuda pelopor tingkat nasional. Ia dinilai ikut serta memberdayakan masyarakat miskin.

Bupati Bantul (waktu itu) Idham Samawi lalu membiayai Dalyono untuk ikut kursus manajemen pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) lewat kerja sama dengan lembaga pendidikan Ciputra dan UGM. ”Saya belajar langsung bagaimana mengubah 'sampah' menjadi 'emas',” katanya.

Selepas kursus kewirausahaan di UGM, Dalyono mengembangkan inovasi produk. Akhir Mei 2006, ia menemukan inovasi mebel batik. Dengan itu, ia bisa mengikuti pameran sampai ke luar negeri.

Semua keberhasilan itu membuat Dalyono berpikir agar hidupnya juga bermanfaat bagi orang lain. Maka, selain mengusahakan mebel batik yang mempekerjakan 160 orang di berbagai kota sebagai pemasok mebelnya (antara lain Jepara, Temanggung, dan Sukoharjo), ia bekerja sama dengan Universitas Ciputra Entrepreneurship di Jakarta mengusahakan lima lembaga kursus dan pelatihan.

Usaha itu kemudian berkembang lagi dengan satu lembaga keuangan mikro. Lembaganya pun mendapat bantuan dari pemerintah sebesar Rp 250 juta, selain bantuan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Konsumsi ekspor

Kantornya menempati enam ruang SD Inpres yang ditutup karena tak ada murid. Sejak tiga tahun lalu Dalyono menyewa tempat itu Rp 200.000 per tahun. Ongkos sewa itu tahun depan bakal naik menjadi Rp 3,5 juta.

Ruang-ruang kelas diaturnya sedemikian rupa hingga layak menjadi kantor sampai ruang untuk membuat desain batik dengan sejumlah karyawan binaan mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Pembeli produk mebel batiknya umumnya orang asing. Ia memanfaatkan promosi dari mulut ke mulut lewat pemandu wisata. ”Saya punya beberapa teman tour guide. Mereka yang memperkenalkan produk saya kepada para tamu asing, selain lewat pameran,” kata Dalyono yang kerap mengikuti berbagai pameran di Jakarta.

Produk mebel batiknya diekspor ke berbagai negara, seperti Perancis, Belanda, dan India. Setiap bulan ia mengekspor sekitar dua kontainer. Omzetnya per bulan sekitar Rp 700 juta.

Dengan mempekerjakan 20 orang di bengkelnya, Dalyono memberi upah sekitar Rp 25.000-Rp 30.000 per hari per pekerja. ”Itu bukan jumlah yang besar, tapi yang penting bermanfaat bagi orang lain,” ucap Dalyono yang juga mengusahakan pernik-pernik, seperti alas kaki sampai gelang kayu yang hari itu diborong konsumen India.

Tak muluk-muluk menafsirkan konsep kewirausahaan, Dalyono berkeyakinan kewirausahaan bukan pengetahuan, tetapi praktik. ”Saya belajar, terus belajar sambil terus bekerja juga.”

Karena itulah, dia juga kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Widya Mataram, Yogyakarta, selain belajar bahasa Mandarin, Inggris, dan Perancis lewat kursus.

Bagaimanapun ia senang karena adiknya, Purwanto (21), tak seperti dia. Selulus SMA sang adik bisa bekerja di perusahaan minyak di Riau. Ngadiman, sang ayah, pun bangga pada pencapaian Dalyono yang dianggapnya mampu ”mengangkat” keluarga.

Berkembangnya usaha mebel yang dirintis, membuat Dalyono semakin yakin bahwa jiwa kewirausahaan memang bisa dibentuk lewat pendidikan di sekolah. Namun, tambahnya, yang kemudian lebih berperan adalah pengalaman, kemauan seseorang berusaha keras, dan disiplin diri.

”Jiwa wirausaha itu terbentuk lewat kemauan keras untuk terus belajar dan senantiasa jeli melihat peluang,” ujar pria kelahiran 20 Juni 1980 yang telah membuktikan bahwa sebuah usaha bisa tercipta dengan kemauan belajar, meski seseorang memulai semuanya dari nol: nol modal, nol relasi, nol pendidikan, dan nol keterampilan.
 






sumber : kompas.com

Kenapa Harus Berwirausaha ?

Kenapa harus berwirausaha ? hmm … pertanyaan yang cukup menggelitik bagi sebagian orang. Sebenernya tidak harus sih ya .. relatif semua itu, namun jika ada kesempatan untuk berwirausaha, saya kok sepertinya berkeyakinan akan banyak orang yang menjadi pengusaha, walaupun dia sudah menjadi bagian dari sebuah perusahaan sebagai karyawan didalamnya maupun PNS.


Sudah benyak kesuksesan berasal dari usaha walaupun banyak juga yang berasal dari gaji hasil pekerjaan, namun sepertinya lebih banyak yang dari kegiatan usaha sampingan kali ya hehehe…
Okay lah.. tidak usah berlama lama, jadi intinya bagi siapa saja, anda , saya, dan apapun jenis aktifitas kesehariannya, saya rasa membuat pilihan dengan mengambil langkah berwirausaha adalah pilihan bijak ditengah carut marut pergolakan perekonomian yang kadang membuat keuangan rumah tangga terasa sulit. Memang semua harus disiasati, menangkap Peluang Usaha menjadi satu alternatif untuk memulai membuka usaha. Kebutuhan akan pendidikan anak, kesehatan, asuransi (jika yg mengambil asuransi), kesehatan dan renovasi atau membeli rumah serta keinginan keiginan lainnya tentunya akan menguras banyak biaya, dan apabila kita hanya mengandalkan gaji saja ya mungkin bisa saja, akan tetapi apabila kita punya usaha lainnya diluar gaji, tentu saja menjadi lebih ringan kan dalam membantu mengatasi berbagai kebutuhan tersebut. Pda intinya sih itu saja… jadi berwirausaha sebagai tujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan kita.


Selain itu menangkap Peluang Usaha dengan berwirausaha secara mandiri mampu memberikan kepuasan batin yang tentunya sulit utk di ukur dengan kata kata, keberhasilan dalam berwirausaha dengan berbgaai suka duka didalamnya tentu saja akan terasa memuaskan apabila kita berhasil memanage dan akhirnya sukses dengan usaha yang kita jalani tersebut. Menjadi Pengusaha bisa dinilai juga sebagai permainan anak anak, bebas mau apa saja, ga ada yang menekan, ga ada yang memotong gaji dll, dalam artian umum, Pengusaha lebih bebas dalam mengatur kehidupanya kapan saja dimana saja, jika ada sesuatu yang mengikat mungkin itu adalah ikatan profesionalisme semata dan itu saya rasa emang harus ada di setiap diri Pengusaha, baik pengusaha kecil, menengah ataupun besar.


Dengan menangkap Peluang Usaha dan berani berwirausaha, saya rasa kualitas kegiatan keseharian kitapun juga menjadi lebih menarik, tidak monoton, tidak hanya itu itu saja, ada berbagai tantangan baru yang mungkin hadir di kehidupan kita, berbagai permasalahan berkaitan dengan usaha kita tentunya menjadi hal yang menarik dan menjadi lebih menarik lagi jika kita bisa menghandel dengan baik.


Menjadi Pengusaha adalah Pilihan, Baik orang miskin, menengah ataupun sudah kaya sekalipun tidak ada yang melarang menjadi Pengusaha.

Rabu, 04 Mei 2011

Belajar Sepanjang Usia

     


Lu Pingkung adalah seorang raja, dia adalah seorang raja yang pintar dan adil. Ketika dia berusia 70 tahun, dia masih berkeinginan belajar lebih banyak lagi, untuk menambah pengetahuannya. Lu Pingkung merasa pengetahuan yang dimilikinya masih sangat minim. Tetapi seorang yang berumur 70 tahun ingin belajar lagi, kesulitannya semakin banyak, Lu Pingkung merasa tidak percaya diri, dia lalu pergi meminta nasehat kepada seorang menterinya yang pintar.
Menterinya ini adalah seorang tua yang buta, tetapi dia adalah seorang cendekiawan, walaupun matanya buta, tetapi hati sanubarinya sangat terang.
Lu Pingkung bertanya kepada menterinya ini, ”Coba engkau lihat, saya sudah berumur 70 tahun, sudah cukup tua, tetapi saya masih sangat ingin belajar lebih banyak ilmu, supaya dapat menambah lebih banyak pengetahuan, tetapi selalu merasa kurang percaya diri, selalu merasa sudah terlambat?”
Menteri ini menjawab, ”Paduka merasa terlambat? Lalu kenapa tidak menyalakan lilin?”
Lu Pingkung tidak mengerti maksud dari menteri ini, lalu berkata, ”Saya berbicara serius denganmu, kenapa engkau bercanda? Mana ada seorang menteri yang mempermainkan rajanya?”
Mendengar perkataan rajanya, menteri ini merasa gembira lalu berkata, ”Paduka, engkau salah paham, saya adalah seorang menteri tua yang buta, mana berani mempermainkan Paduka? Mengenai hal belajar lagi saya juga berkata serius kepada Paduka.”
Lu Pingkung dengan bingung berkata, ”Saya tidak mengerti apa maksudmu?”
Menteri berkata, ”Menurut yang saya pelajari, ketika manusia pada masa kecil mempunyai keinginan belajar, bagaikan mendapat sinar mentari pagi yang sangat lembut, sinar mentari makin lama makin terang, waktu bersinarnya juga sangat panjang.
Ketika manusia pada masa remaja mempunyai keinginan untuk belajar, bagaikan mendapat sinar mentari di siang hari, walaupun sinar mentari di siang hari sudah menyinari setengah hari, tetapi sinarnya sangat terik, waktunya bersinar juga masih panjang.
Sedangkan manusia pada masa tuanya mempunyai keinginan untuk belajar, walaupun matahari sudah tenggelam, tidak ada sinar terang lagi, tetapi masih bisa meminjam cahaya lilin untuk menerangi, walaupun cahaya lilin tidak begitu terang, tetapi dengan sedikit cahaya ini lebih bagus daripada meraba-raba ditempat yang gelap.
Lu Pingkung segera tersadarkan, dengan gembira dia berkata, ”Perkataanmu sangat benar, Memang harus demikian! Sekarang saya merasa percaya diri lagi.”
Jika tidak ingin belajar, walaupun membuka mata dengan lebar disiang bolong, sepasang mata ini akan kehilangan, sangat gelap; Dengan terus belajar, tidak peduli muda maupun tua, lebih banyak pengetahuan sanubari akan semakin terang, dengan demikian dapat dengan tidak membabi buta mengambil keputusan dalam menghadapi masalah sehingga hidup ini tidak menjadi sia-sia.



 Erabaru.net